Analisis Legalitas Perhutanan Sosial dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Indonesia memiliki kawasan hutan yang luar biasa disetiap daerahnya dan ini menjadi salah satu keunggulan yang tidak dimiliki oleh setiap negara. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan selayaknya memiliki akses mengelola sumber daya hutan. Pemerintah menjaminnya dengan menyediakan beragam skema akses pengelolaan hutan melalui Program Perhutanan Sosial. Program perhutanan sosial di Indonesia memasuki era baru pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah memberikan akses legal kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk mengelola sumber daya hutan dalam lima skema pengelolaan, yaitu hutan kemasyarakatan (Hkm), hutan desa (HD), hutan tanaman rakyat (HTR), kemitraan, serta hutan adat. Dengan beragam skema ini, pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat dapat dilakukan secara legal dan mendukung kepastian pengelolaan dalam jangka panjang, yang menjadi salah satu prinsip pengelolaan hutan lestari Wacana paradigma social forestry (perhutanan sosial) di Indonesia muncul sebagai wujud “perlawanan” terhadap pemerintah (orde baru) yang kala itu mengesampingkan keberadaan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan dan cenderung berpihak kepada pemodal (asing & dalam negeri) untuk mengelola (mengeksploitasi) hutan dengan dalih pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan dan pengawan kawasan menjadi perhatian utama dalam menjaga kawasan hutan di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menjaga lingkungan dan terjaganya keadaan makhluk hidup yang ada didalamnya demi keberlangsungan kawasan hutan yang asri. Kurangnya pengawasan dan perlindungan hutan secara ketat membuat banyak terjadinya kebakaran hutan serta berkurangnya wilayah kawasan hutan di setiap daerahnya. kebijakan harus dibuat secara matang dan dilibatkan langsung masyarakat didalamnya, sehingga pelaksanaan dan penjagaan hutan bisa terjaga dan bisa dinimati oleh orang banyak dan ini bisa menjadikan negara menjadi perhatian dunia. Perubahan dan perbaikan adalah tugas pemimpin negara dalam melakukan kebijakan yang menguntungkan setiap kalangan masyarakat berdasarkan ideolohi pancasila.
Era Reformasi dan masuknya Indonesia dalam atmosfer demokrasi merupakan momentum besar bagi perkembangan wacana perhutanan sosial. Ibarat biji di tanah kering yang mulai bertunas saat hujan mulai datang. Gelombang keadilan dan kesejahteraan sosial dalam pengelolaan hutan semakin menguat di level lokal (didukung dengan semangat desentralisasi). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sudah hampir menginjak 20 tahun momentum reformasi berlalu apakah paradigma perhutanan sosial masih sekedar menjadi jargon politik penarik massa, sebatas program janji manis? ataukah dibawah kepemimpinan presiden rimbawan yang dikenal (dicitrakan) merakyat ini menjadi momentum kedua bagi menguatnya perspektif perhutanan sosial yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan sosial? Target implementasi program perhutanan sosial oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan luar biasa. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan (KLHK) pada periode 2015- 2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat melalui skema HD, HKm, HTR, Hutan Adat, dan Kemitraan.
Implementasi program perhutanan sosial merupakan bagian dari program Nawacita Presiden Jokowi. Antara lain: Nawa Cita pertama yaitu Negara hadir melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara Indonesia; Nawa Cita ke – 6 Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; Nawa Cita ke – 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domistik, memperkuat akses legal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Kebijakan ini menyelaraskan peraturanperaturan sebelumnya ke dalam satu peraturan yang lebih sederhana, terintegrasi dan menyeluruh. Salah satu pertimbangan terbitnya peraturan tersebut adalah mendesaknya upaya untuk mempercepat pengurangan kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan pengelolaan atau pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan ini merupakan resonansi antara pendekatan pelaksanaan terpusat dan inisiatif yang datang dari bawah, dukungan dari pemerintah daerah serta partisipasi dari masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya. Melalui Perhutanan Sosial, masyarakat dapat memiliki akses kelola hutan dan lahan yang setara dan seluas-luasnya. Dan dengan bentuk pemanfaatan hasil hutan yang sesuai prinsip kelestarian yang ramah lingkungan maka tujuan konservasi lingungan dapatsejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tambahan manfaat lainnya adalah pelibatan masyarakt setempat sebagai pihak utama dan terdekat yang menjaga kelestarian hutan.
Berdasarkan hal demikiam maka Pelaksanaan perhutanan sosial dalam aspek legal formal berimplikasi terhadap aspek ekonomis di mana dengan lahan garapan yang lebih luas sehingga tingkat kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan lebih terjamin, kemudian aspeksosial tingkat kesejahteraan masyarakat lebih meningkat dan adanya kepastian hukum hubungan antara pemerintah (BUMN pengelola hutan) dengan masyarakat kawasan hutan lewat perjanjian kerjasama perhutanan sosial sehingga jelas hak dan kewajibannya serta jangka waktu yang relative lama dan dapat diperpanjang secara legal akses, serta aspekekologis dimana fungsi hutan sebagai ekosistem yang memiliki fungsi pengaturan (protective), fungsi pengaturan (regulative) dan fungsi produktif sehingga kelestarian mutu sumber daya hutan dan lingkungan juga terjamin untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Sumber: Karya Ilmiah Dosen Ananda Mahardika, S.Sos., MSP
Sebagai Universitas Terbaik di Sumatera Utara, UMSU memiliki dosen-dosen yang berprestasi yang menghasilkan jurnal-jurnal terbaik